mister jojok

Minggu, 06 September 2015

KEBUDAYAAN ADALAH ROH BANGSA

Kepada : Yth Ketua Umum YJDB Dan Seluruh Staf. Bersama ini dikirimkan tulisan yang diambil dari Buku Karakter Menentukan Masa Depan Bangsa, sebagai ilustrasi bukti bahwa Pancasila merupakan hasil peradaban bangsa atau pembudayaan budaya yang bukan berupa hasil bangunan pisik akan merupakan bangunan nilai-nilai yang disepakati menjadi landasan yang berlaku secara universum bagi berbagai suku bangsa yang berbeda yang hidup di bumi Nusantara. Uraian dibawah ini harus dirangkum sebagai pengantar menjawab Pancasila yang lahir dari interaksi kultural yang berlangsung ribuan tahun. Semoga bermanfaat. Amin Jakarta, 27 Maret 2015 Santo PANCASILA LAHIR DARI INTERAKSI BUDAYA ANTAR SUKU BANGSA YANG BERBEDA Kita mengetahui sejarah panjang lahirnya Pancasila yang singkatnya digali dari nilai-nilai luhur budaya bangsa. Kebudayaan itu adalah “roh” suatu bangsa, merupakan inti Jati Diri Bangsa, demikian dikatakan oleh sejumlah pakar budaya. Sehingga secara singkat dapat dikatakan bahwa Pancasila yang digali dari nilai-nilai luhur budaya bangsa merupakan Jatidiri bangsa. Tinggi rendahnya martabat bangsa sangat ditentukan oleh tinggi rendahnya budaya suatu bangsa. Budaya bangsa memberikan ciri dan identitas bangsa yang bersangkutan, memberikan ciri khas bangsa, yang secara nasional mewujud dalam Jatidiri bangsa. Dengan demikian Jatidiri Bangsa Indonesia haruslah mencerminkan lima nilai dari sila Pancasila. Dalam tulisan berikut ini secara singkat diuraikan pertama tentang terjadinya terjadinya interaksi kultural antar etnis/suku yang berbeda berlangsung selama ribuan tahun diatas bumi Nusantara. Dari keberagaman adat istiadat budaya, terdapat kesamaan nilai-nilai utama yang mampu merajut kebersamaan dari ratusan budaya etnis yang berbeda, berkesamaan dalam lima nilai-nilai. Kelima nilai-nilai tersebut diatas telah pula tersirat dalam lantuan lagu “Ilir-Ilir” sekitar 500 tahun yang lalu, yang melambangkan gembala (pemimpin) memanjat pohon blimbing yang licin untuk memetik buah blimbling yang “bergigir lima” guna dipersembahkan dalam menghadapi masa depan. Terserah bagaimana kita memaknai blimbing yang bergigir lima itu. Kesuburan bumi Nusantara yang kaya tak terbatas diibaratkan oleh budayawan Ainun Najib bagaikan surga pernah terpenggal dan penggalan itu jatuh di bumi Nusantara. Ungkapan negeri bagaikan surga tersebut tertera dalam buku “The Lost Atlantis” yang ditulis oleh Plato seorang filsuf besar Junani (427-347 SM). Dan hal tersebut dikonfirmasikan dalam buku “Atlantis The Lost Continent Finally Found”, hasil riset dan penelitian selama 30 tahun oleh Prof. Arysio Santos, geolog dan fisikawan nuklir Brazil, membuktikan bahwa keberadaan kota “Atlantis” yang berperaban sangat tinggi yang hilang itu berada di Indonesia. Selanjutnya peradaban yang tinggi di bumi Nusantara dikonfirmasikan pula oleh penemuan situs Gunung Padang di Cianjur yang menyerupai bangunan Candi Borobudur dalam skala ukuran yang jauh lebih besar, dibangun oleh peradaban yang berbeda. Diperkirakan berumur lebih 11.000 tahun, lebih tua dari bangunan Pyramid dan Spink di Mesir. Membuktikan tingginya peradaban penduduk yang mendiami bumi Nusantara. Uraian tersebut diatas adalah suatu gambaran bahwa ribuan tahun yang silam bumi Nusantara telah dihuni oleh suku bangsa/bangsa yang telah memiliki peradaban dan budaya yang sangat tinggi Interaksi Budaya Antar Suku Yang Berbeda, memunculkan nilai-nilai luhur. Selama ribuan tahun, suku-suku bangsa di kawasan Nusantara ini hidup dalam suasana alam tropis Nusantara, dalam keberagaman adat, tradisi, nilai-nilai dan budaya Nusantara, namun terdapat benang merah nilai-nilai yang merajut kesamaan antara lain adanya kepercayaan pada satu kekuatan Yang Maha. Mereka hidup dalam lingkungan ikatan keluarga dan kebersamaan yang kuat, mereka selalu berada dalam ikatan adat yang mengutamakan musyawarah dalam memutuskan kepentingan bersama, mereka memiliki kehendak yang sama dalam hal keadilan sosial. Hubungan antar warga dan dengan kelompok warga lain diatur dalam norma adat istiadat masing-masing suku bangsa. Selama ribuan tahun terjadi interaksi budaya antar suku yang berbeda, secara evolusi terjadi perubahan, sosialisasi, friksi, aksi dan reaksi dengan segala dinamika dan dampak yang ditimbulkannya. Terjadi pembudayaan budaya sehingga memunculkan adanya nilai-nilai persamaan dalam keberagaman, dan secara di sadari atau tidak disadari nilai-nilai tersebut ter-abstraksi menjadi rajutan nilai baru membentuk ciri khas sebagai nilai bersama dari berbagai suku yang berbeda di bumi Nusantara. Nilai-nilai yang bersumber dari keluhuran budaya itulah yang kemudian digali dan di ketemukan kembali oleh para “founding fathers” bangsa menjadi lima nilai nilai luhur budaya bangsa. Nilai-nilai luhur yang menjadi bagian dari kehidupan dalam masyarakat bangsa, memberi kontribusi utama dalam pembentukan jatidiri bangsa. Buah Blimbing Bergigir Lima Sebagai Perlambang Adanya Lima Nilai Yang Harus Dipetik (Digali) Oleh Seorang Pemimpin. Sunan Ampel lima abad yang lalu telah melantunkan lagu ciptaannya “Ilir-ilir”, yang menceritakan seorang penggembala (angon) atau pemimpin yang diharuskan memanjat pohon Blimbing dan memetik buahnya yang bergigir lima sebagai norma untuk dipersem bahkan guna membangun pada masa depan, ditafsirkan oleh budayawan Ainun Nadjib, bait tersebut sebagai perlambang seorang pemimpin yang memegang buah bergigir lima, terserah kepada kita untuk memaknai apa yang dimaksud dengan bergigir lima, sebagai dasar membangun masa depan bangsanya. Pemimpin yang memiliki sifat gembala yaitu pemimpin yang mampu mengayomi, yang dekat dengan rakyatnya, yang setia menjaga kesejahteraan yang digemba lakan, menolong-membantu-mencarikan keperluan yang dibutuhkan oleh rakyatnya dan seterusnya. Tentu saja gembala itu bisa seorang dokter, seorang birorat, seorang prajurit dan seterusnya. Bumi Nusantara Bagaikan Surga Dunia, Pusat Peradaban Dunia Yang Hilang. Betapa budaya Nusantara sudah berkembang dengan sa ngat maju, diibaratkan oleh budayawan Ainun Najib dengan kesu buran dan kekayaan alam negara Indonesia solah-olah tak ternilai besarnya, seakan surga pernah bocor dan penggalan surga itu terlempar ke bumi, memercikan kesuburan dan kekayaan serta keindahannya diatas katulistiwa di bumi Nusantara, Indonesia Raya. Namun kita kurang mensyukuri penggalan surga yang dianugerahkan Allah kepada kita. “The Lost Atlantis” pernah ditulis oleh Plato seorang filsuf besar Junani (427-347 SM) yang mengemukakan bahwa pada zaman es, pada saat itu seluruh daratan Eropa tertutup oleh es, peradaban manusia hanya berkembang di daerah katulsitiwa yang hangat. Disa na ada negeri yang maju - makmur - dengan kekayaan alam yang berlimpah bagaikan layaknya surga didunia; kemudian pada masa berakhirnya Jaman Es Pleistosen yang terjadi secara tiba-tiba dan dramatis akibat letusan gunung berapi yang maha hebat, lapisan es yang raturan meter tebalnya mencair menimbulkan tzunami yang dahsyat, dan permukaan air laut naik menenggelamkan negeri surga tersebut dan negeri itu letaknya di Indonesia. Ungkapan semacam itu juga tertuang didalam buku “Atlantis The Lost Continent Finally Found”, hasil riset dan penelitian selama 30 tahun oleh Prof. Arysio Santos, geolog dan fisikawan nuklir Brazil yang kemudian menyimpulkan dengan bukti-bukti bahwa situs keberadaan Atlantis sebuah kota yang berperadaban tinggi yang hilang ditelan oleh bencana dahsyat adalah Indonesia. Situs Gunung Padang Akan Membuktikan Bahwa Bumi Nusantara Telah Didiami oleh Bangsa Yang Berperadaban Tinggi. Buku Situs Gunung Padang di Cianjur yang ditulis oleh Dr. Ali Akbar seorang arkeolog, juga memberikan arah yang benar yang perlu masih terus diungkapkan tentang adanya suatu bukit yang merupakan bangunan yang menyerupai candi Borobudur tetapi dalam ukuran skala yang jauh lebih besar, yang dibangun oleh peradaban yang berbeda. Dari penelitian diperoleh bahwa umur bebatuan yang dike temukan diperkirakan berumur sekitar 20.000 tahun. Dan sudah ada beberapa penemuan arkeologi yang memperkuat adanya peradaban tinggi di bumi Nusantara jauh sebelum 11.000 tahun yang lalu, lebih tua dari bangunan Piramyd dan Spink di Mesir, meskipun masih memerlukan pembuktian dan penelitian lebih lanjut. Uraian diatas menegaskan bahwa peradaban yang tinggi telah berada di bumi Nusantara. Mohon diperhatikan gambar candi Plaosan, ternyata stupa berbentuk kepala (gambar hal 138) yang secara langsung dan tidak langsung melukiskan berbagai entitas, yang dipergunakan dalam diberbagai komik, film fiksi bahkan mungkin sosok Transformer. Para leluhur kita sudah memiliki imaginasi jauh kedepan, kemasa depan, suatu karya budaya agung. Berlangsung interaksi budaya antar etnis/suku yang berbeda, dan pengaruh budaya dari luar yang berlangsung selama sibuan tahun, secara alami membentuk adanya sejumlah ke samaan yang selanjutnya terjadi proses saling meneguhkan, terjadi proses interaksi kultural, silang bahasa dan adat istiadat, membentuk kesadaran kesatuan etnis, yang kesemuanya merupakan bagian dari terbentuknya karakter dan Jatidiri bangsa. Untuk itulah para pakar budaya menyatakan bahwa salah satu unsur pokok pembentukan Jati Diri adalah nilai-nilai budaya, oleh sebab itu pengembangan budaya merupakan salah satu penentu totalitas kepribadian atau Jati Diri Bangsa. Premis tersebut diatas membenarkan anggapan bahwa mencari Jati Diri bangsa harus berawal atau bertitik tolak pada akar sejarah perjalanan bangsanya dan ditentukan oleh hasil proses aktualisasi nilai-nilai budaya bangsa, dalam hal ini yang merupakan substansi Pancasila, tercermin dalam wujud nyata kehidupan bangsa dan dijadikan atau difungsikan sebagai dasar dan tujuan pengembangan hidup bersama sebagai bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, bersatu dan berdaulat. Seperti dituliskan sebelumnya bahwa nilai-nilai luhur budaya bangsa ini tertuang dalam Pembukaan UUD-45 yang merupakan substansi Pancasila, dan diberi makna secara politis oleh berbagai komunitas sebagai sistem nilai yang utuh. Lima Sila Pancasila merupakan landasan dasar bangsa ini membangun dan mengembangkan dirinya sebagai bangsa yang berjatidiri, berbeda dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Mengapa bangsa ini masih dalam kondisi seperti sekarang, masalahnya ada di bangsa, di manusia Indonesia sendiri, yaitu karakter sebagaian warga bangsa yang kebetulan dalam posisi memimpin, tidak atau kurang memperhatikan etika dan norma kehidupan kebangsaan yang seharusnya dipergunakan sebagai pedoman dalam membangun negara bangsa, yaitu lima sila Pancasila. Pancasila sebagai dasar negara harus menjiwai dan diterjemahkan dalam pasal-pasal pada batang tubuh UUD- 1945, demikian juga amanah Pembukaan UUD sesuai dengan cita-cita kemerdekaan mutlak harus diakomodasikan didalam UUD Negara Republik Indonesia yang dikenal dengan UUD-1945. Aspirasi Pancasila sudah ada jauh sebelum Pancasila itu sendiri lahir, demikian dikatakan oleh Prof. Dr. Anis Bawesdan, kesadaran primodial/kesukuan/etnik memberi isyarat bahwa “aku bisa eksis karena ada nya kau”, suku Batak ada karena suku Padang ada, karena suku Kubu ada, karena suku Jawa ada, dan seterusnya. Interaksi antar suku bangsa membentuk semacam budaya antar suku. Antar suku terjadi proses saling meneguhkan selama ribuan tahun, terjadi tenunan atau rajut kesatuan melalui perdagangan, perkawinan, saling menghormati, saling berkomunikasi menggunakan bahasa yang dimengerti, proses tersebut membentuk satu jalinan kesatuan etnik. Selama ribuan tahun terjadi proses rumit yang berujung pada terbentuknya ciri-ciri khas dari kumpulan etnis Nusantara yang tidak dimiliki oleh bangsa lain. Membudidayakan budaya atau kultur dan melebur dalam suatu nilai baru, dapat disebut sebagai terbentuknya suatu peradaban nilai, membangun peradaban nusantara diperlukan waktu ribuan tahun. Demikian antara lain sebagian uraian bapak Anis Bawesdan. Kebudayaan adalah “Roh” Bangsa, merupakan Jatidiri Bangsa. Proses budaya tersebut diatas terus berlangsung sejalan dengan perubahan yang dinamis dan dapat menghasilkan kualitas yang positif dan atau negatif. Kalau kita kembali kepada awal terbentuknya Indonesia sebagai negara dengan penduduk didalamnya sebagai Bangsa Indonesia, maka kita perlu menyimak bagaimana para pendiri bangsa mencoba mencari dan berusaha menggali nilai-nilai luhur budaya bangsa yang menghasilkan lima nilai-nilai luhur yang kemudian dicantumkan dalam pembukaan Undang-Undang dasar 1945 dan selanjutnya disebut dengan Pancasila. Pakar budaya mengatakan bahwa kebudayaan itu adalah “Roh” suatu bangsa, yang juga merupakan inti dari Jati Diri bangsa. Tinggi rendahnya martabat bangsa sangat ditentukan oleh tinggi rendahnya budaya suatu bangsa. Budaya bangsa memberikan ciri dan identitas bangsa yang bersangkutan, memberikan ciri khas bangsa, yang secara nasional mewujud dalam Jatidiri bangsa. Borobudur, Piramid-spink dan Great Wall merupakan bangunan yang sangat dikagumi sebagai hasil budaya bangsa yang luar biasa. Jadi terbukti bahwa budaya memperkuat Jati Diri. Kebuda yaan menciptakan karya agung bangsa tidak saja berupa bangunan pisik berupa Borobudur, Spink atau Great Wall, tetapi juga karya agung yang bersifat “idea” dan itu bagi bangsa Indonesia berupa “Lima Sila” yang kemudian diberi nama Pancasila. Pancasila adalah hasil karya agung budaya bangsa yang membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Sesungguhnya Pancasila adalah Jati Diri bangsa Indonesia. Bhineka Tunggal Ika, Tan Hana Darma Mangrwa. Petuah Mpu Tantular : ”Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Darma Mangrwa” yang diartikan dengan “yang ber-aneka itu adalah satu, tidak ada kewajiban yang mendua”, meskipun berbeda-beda tetap satu dan kewajiban hanya demi negara dan bangsa yang satu. Inilah loyalitas kepada bangsa dan negara, awal dari nasionalisme dan patriotisme Indonesia, Nusantara. Bhineka Tunggal Ika, menjadi seloka yang memberi keyakinan kepada bangsa yang majemuk ini untuk tetap bersatu dalam keaneka ragaman. Loyalitas yang yang dimaksud adalah loyalitas yang dipandu oleh nilai-nilai dari lima sila. Bhineka Tunggal Ika, merajut berbagai kemajemukan kultural bangsa dalam satu kesatuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar